Empati dalam Bertetangga, Jangan Terkejut Membaca Kisah Nyata Ini!

By Mayawa Gi - April 11, 2022

Saya akan menceritakan kisah nyata yang cukup mengiris hati tapi ternyata sering terjadi di banyak tempat. Dengan tulisan panjang ini, diharapkan masing-masing kita bisa lebih peka melihat kondisi tetangga dan lebih mengasah empati lagi.

Jika selama ini kita merasa sudah baik dan empati terhadap tetangga, coba teliti lagi. Mungkin masih ada hal-hal yang luput dari perhatian. Tingkat sensitivitas setiap orang berbeda-beda, demikian juga dengan rasa empati dalam dada.

Empati dalam Bertetangga, Jangan Terkejut Membaca Kisah Nyata Ini!
Pict: Pexels

Kata Netizen Tentang Tinggal di Kota dan di Desa

"Tinggal di kota harus tebal dompet, tinggal di desa harus tebal kuping," begitu kata netizen.

Maksudnya adalah kota identik dengan biaya hidup yang tinggi karena harga barang-barang sangat mahal. Selain itu, gaya hidup di kota juga identik dengan hedonisme dan berlomba-lomba pamer kekayaan. Maka tidak heran jika disebut tinggal di kota harus tebal dompet atau banyak uang.

Sebaliknya, hidup di desa identik dengan biaya hidup yang murah sehingga tidak perlu dompet yang tebal. Lalu mengapa harus tebal kuping, apa maksudnya? Tebal kuping merupakan istilah untuk kemampuan cuek atau tidak menghiraukan omongan orang. Ya, desa identik dengan orang-orang yang kepo dan terbiasa ikut campur urusan orang lain. Bahkan untuk masalah-masalah pribadi.

Apakah kata netizen tersebut benar? Tentu saja semua itu tergantung orang-orangnya. Jika ingin mengetahui lebih jelas, bisa coba buktikan sendiri. Kalau gak punya waktu, yaudah nanti saya bahas lebih lengkap di artikel selanjutnya, hehe.

Kehidupan di desa terkenal dengan budaya gotong-royong dan saling tolong-menolong. Hal inilah yang membuat ikatan pertetanggaan lebih erat. Masyarakat desa dikenal lebih peduli satu sama lain, walaupun kadang rasa peduli ini kebablasan. Ups!

Kisah Nyata Kehidupan Bertetangga

Pada suatu hari (jreng jreng) di sebuah kota kecil (sebut saja desa deh ya) hiduplah beberapa keluarga dalam suatu wilayah. Rumah-rumah keluarga ini menghadap satu jalan yang ujungnya buntu karena mentok aliran sungai. Jarang ada orang luar lewat jalan itu kecuali bapak-bapak sekitar yang memancing ikan di sungai.

Rumah-rumah tersebut terlihat sangat layak huni sehingga orang pasti berpikir penghuninya adalah golongan berdompet tebal. Padahal, tidak semua yang tinggal di situ merupakan pemilik rumah, ada yang hanya kontrak, numpang di rumah orang, dan lain-lain.

Kemudian, salah satu warga sebut saja Bapak A yang tergolong berduit berinisiatif membangun portal jalan demi alasan keamanan. Misalnya biaya pembangunan portal 3 juta (hanya contoh), Bapak A yang dermawan bersedia menyumbang 1 juta rupiah. Selanjutnya, tidak mau kalah ada Bapak B yang bersedia menyumbang 1 juta rupiah juga. Sisa biaya 1 juta rupiah akan dibebankan kepada warga lain yang tinggal di jalan tersebut, sekitar 15 keluarga.

Jika kita hitung, 1 juta dibagi 15 keluarga maka setiap orang diwajibkan menyumbang Rp66.666. Namun, Bapak A meminta setiap orang membayar 100 ribu sehingga ada sisa untuk uang kas yang bisa digunakan jika ada keperluan lain.

Terlihat wajar, bukan? Banyak terjadi kejadian seperti ini dimana-mana, bukan? Bapak A tentu terlihat sangat dermawan sekali karena telah memiliki insiatif membangun portal dan bersedia membayar sebagian besar biayanya. Tapi, mari kita lihat dari sudut pandang lain, ya.

Bapak A tiba-tiba sudah membeli bahan material untuk membuat portal, makanya beliau langsung tahu total biaya sebesar 3 juta. Padahal mereka memiliki grup obrolan di Whatsapp, yang seharusnya urusan membangun portal perlu dibicarakan atau dirapatkan terlebih dahulu. Sedangkan yang terjadi adalah tidak ada pembicaraan di grup tentang rencana pembuatan portal sama sekali.

Bapak A hanya mencetuskan rencana tersebut secara lisan kepada Bapak B. Lalu mereka berdua menganggap warga lainnya tentu akan setuju. Mereka menganggap warga lainnya pasti merasa senang karena hanya dengan urunan 100 ribu sudah ada fasilitas portal di jalan perumahan mereka.

Baca juga : 30 Detik yang Mengubah Hidup

Kenyataannya tidak demikian. Sebut saja ada Ibu Z yang merupakan salah satu warga di sana. Ibu Z yang memiliki bisnis kecil-kecilan sedang kesulitan ekonomi di masa pandemi. Rumah yang ditinggali Ibu Z merupakan rumah orang lain yang mengizinkannya menempati sementara waktu.

Bagi Ibu Z, untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sangat sulit, sehingga uang 100 ribu sangat berharga. Selain itu, pembuatan portal merupakan hal yang tidak berguna bagi Ibu Z. Menurut Ibu Z, jalan tersebut merupakan jalan buntu yang jarang dilalui orang. Kondisi lingkungan selama ini pun terbilang aman. Jadi pembangunan portal memiliki urgensi yang patut dipertanyakan.

Loh, gimana sih Ibu Z ini, kita kan harus jaga-jaga sebelum kejadian, toh? Itu masih mending Bapak A mau menyumbang. Ternyata eh ternyata, Ibu Z menganggap Bapak A ngotot ingin membuat portal untuk kepentingannya sendiri. Bapak A tidak punya garasi sehingga setiap hari mobilnya di parkir di jalan. Makanya dia butuh portal. Nah, loh!

Ending-nya bagaimana? Ibu Z tidak bilang apa-apa. Tetangga tidak ada yang mengetahui kondisinya tersebut. Ibu Z tetap membayar urunan sebesar 100 ribu dengan sangat terpaksa. Ibu Z tidak ingin punya masalah dengan para tetangga. Yahh, mungkin Ibu Z takut dikucilkan, diomongin, dimusuhin tetangganya.

Itu baru satu cerita, kisah nyata. Masih banyak cerita lainnya tapi artikelnya nanti jadi kepanjangan. Dari cerita tersebut saya tidak membela siapa-siapa. Saya hanya menyayangkan tentang komunikasi yang diabaikan. Harusnya Bapak A, Bapak B, dan seluruh warga tetap menghargai pendapat tetangganya dengan mendiskusikan rencana di grup obrolan. Ibu Z pun mungkin sebaiknya terus terang dengan kondisinya, tapi tentu gak semudah itu juga sih.

Tidak semua orang open mind dan bisa empati kepada orang lain. Saya melihat banyak sekali urunan-urunan, sumbangan, iuran, dan lain-lain di lingkungan tempat tinggal yang sifatnya pemaksaan. BANYAK BANGET, SERIUS. Orang yang benar-benar tidak mampu pada umumnya malu atau pakewuh untuk mengakui kondisinya. Di sinilah harusnya peran para tetangga untuk empati dan tidak membuat keputusan yang memberatkan tetangganya.

Pengertian Tetangga dan Bagaimana Memperlakukannya

Siapakah yang dimaksud dengan tetangga?  Menurut KBBI, tetangga adalah orang atau rumah yang letaknya berdekatan atau bersebelahan. Tetangga memiliki akar kata yang serupa dengan setangga, yaitu tangga. Terdapat arti tersirat bahwa setangga atau tetangga ini merupakan posisi di tingkatan yang sama.  Setara.

Dalam Agama Islam, terdapat banyak pembahasan tentang tetangga. Bahkan salah satu hadits menyebutkan, Rasulullah SAW bersabda "Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris." (HR. Bukhari 6014, HR. Muslim 2625).

Betapa pentingnya posisi tetangga, bukan? Hadits lain menyebutkan bahwa "Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya" (HR. Bukhari 5589, HR. Muslim 70).

Ada banyak sekali ayat Alquran dan Hadits yang menganjurkan untuk berbuat baik kepada tetangga dan memastikan tetangga aman dari kejahatan kita. Nah, baik dan jahat ini parameternya seperti apa? Di masyarakat sering kali bias, nih.

Di daerah tertentu (umumnya pedesaan), baik sama tetangga diidentikkan dengan sering main ke rumah tetangganya (nenangga), selalu ikut acara-acara warga seperti arisan, piknik bareng, bukber, dan lain-lain. Kalau tidak ikut itu dianggap sebagai tetangga yang jahat?

Bersosialisasi dengan warga sekitar memang diperlukan, namun tentu sesuai dengan porsi kesibukan masing-masing. Justru yang paling penting adalah kita menunaikan hak-hak tetangga seperti menjenguk ketika sakit, berbagi makanan, dan datang jika diundang walimatul ursy. Jangan lupa, pastikan tetangga aman dari kejahatan lisan kita, jangan nyinyir, julid, dan membuat tetangga tidak nyaman dengan omongan kita. Catet, Bunnn.

Saya pun masih banyak belajar dan memperbaiki diri. Tulisan ini untuk menjadi pengingat kita bersama untuk lebih peka dan berempati terhadap kondisi tetangga. Berikutnya saya akan membahas lebih dalam terkait tema ini.

  • Share:
  • facebook

You Might Also Like

0 comments